Rabu, 19 Juni 2013

Kearifan Lokal yang Perlu Dilestarikan, Desa Tenganan Pegringsingan


KEARIFAN LOKAL YANG PATUT DILESTARIKAN


Di dunia yang sudah maju sekarang ini, semakin banyak orang-orang serakah ingin memanfaatkan hasil bumi sebesar-besarnya tanpa memperhatikan dampak yang akan terjadi. Issue yang sekarang ini menjadi polemik adalah global warming. Salah satu penyebab dari global warming atau pemanasan global ini adalah berkurangnya lahan hutan, sering terjadi penebangan pohon liar yang dapat mengakibatkan longsong, banjir, dan bencana alam lain yang tidak pernah diharapkan. Tidak adakah cara untuk menanggulanginya?
Ada satu desa yang memiliki sistem adat unik untuk menangani penebangan pohon di hutan dekat desa. Desa Tenganan Pegringsingan kecamatan Manggis Kabupaten Karangasem Bali. Desa ini merupakan desa Bali Aga artinya desa yang sudah ada sejak jaman dahulu, desa yang menganut agama hindu sekta Indra, berbeda dengan agama Hindu di Bali pada umumnya. Mengenai hutan dan penebangan pohon desa ini memiliki adat tersendiri. Oleh karena letak pemukiman penduduk berada ditengah-tengah bukit, dimana apabila terjadi penebangan pohon secara liar maka dapat dipastikan desa ini akan terkena bencana longsor. Namun desa ini memiliki warisan leluhur “awig-awig” atau peraturan untuk tidak memperbolehkan penebangan hutan secara liar.
Setiap hutan yang mengelilingi desa Tenganan Pegringsingan tentu ada pemiliknya, pemiliknya tidak lain yaitu penduduk desa setempat, oleh karena tidak diperbolehkan untuk menjual tanah/lahan hutan kepada orang luar. Hal ini memudahkan penyelenggaraan hukum kehutanan karena pemiliknya adalah penduduk desa setempat. Untuk menebang pohon di lahan miliknya pun tidak diperbolehkan apabila tidak meminta ijin dan mendapatkan ijin dari aparat adat desa, dalam hal ini disebut klian desa.
Jika ingin menebang pohon, syaratnya antara lain adalah pohon yang akan ditebang harus dipastikan bahwa pohon tersebut tidak produktif lagi atau dapat dikatakan pohon tua atau pohon mati. Tidak sampai sini saja, sang pemilik harus melapor terlebih dahulu kepala para klian desa. Keesokan harinya atau selang beberapa hari, klian desa akan mengutus beberapa orang untuk pergi ke lokasi pohon yamh dimaksud, apabila sudah dipastikan pohon tersebut layak untuk ditebang, maka sang pemilik diperbolehkan untuk menebang pohon dalam batas tertentu dan tentu harus ada reboisasi atau penanaman pohon kembali. Pohon yang ditebang ini biasanya digunakan dalam pembangunan rumah, maupun kayu bakar dalam jumlah yang besar. Apabila terjadi pelanggaran maka ada sanksi tegas yang akan diberlakukan.
Sistem ini mungkin tergolong sistem yang sangat sederhana, namun sangat bermanfaat bagi penduduk setempat, selain dapat membantu menambah kadar oksigen setempat, sistem ini juga dapat mencegah terjadinya bencana alam longsong dan banjir yang dapat membahayakan kehidupan penduduk desa adat Tenganan Pegringsingan.
Demikian yang dapat disampaikan, kritik dan saran anda sangat saya harapkan.

Sabtu, 11 Mei 2013

Ayunan dan Mekare-kare (Perang Pandan), warisan leluhur di Desa Tenganan Pegringsingan


(foto diatas diambil secara acak di google pic)

       Tradisi main ayunan di Desa Tenganan Pegringsingan yang dinaiki oleh para Daha (gadis) dan diputar secara manual oleh para Truna (laki-Laki). Ayunan ini hanya ada pada bulan kelima yang disebut Sasih Sambah selama satu bulan. Sasih Sambah ini merupakan salah satu bulan dimana berlangsungnya upacara-upacara adat terbesar yang diadakan di desa Tenganan Pegringsingan tersebut. Desa Tenganan Pegringsingan merupakan Desa Bali Aga (Bali Kuno) yang sudah ada sejak dahulu. itu sebabnya tradisi dan upacara adat di desa ini sangat berbeda dengan tradisi di Bali pada umumnya.




      
       Selain ayunan, ada lagi upacara adat yang tidak kalah menarik untuk ditonton yaitu upacara Mekare-kare atau sering disebut dengan Perang Pandan. Perang pandan ini dilaksanakan oleh para truna dengan senjata seikat daun pandan berduri dengan tamyang yang digunakan sebagai alat pelindung diri terbuat dari anyanan ata (sejenis rotan). Upacara Mekare-kare ini diiringi dengan music khas Tenganan Pegringsingan yaitu Selonding.
Upacara main ayunan dan Mekare-kare ini diselenggarakan hanya satu tahun sekali yaitu pada bulan Kelima (menurut penanggalan di Desa Tenganan Pegringsingan), biasanya jatuh sekitar bulan Juni-Juli.

       Untuk tahun 2013, Sasih Sambah dimana berlangsungnya upacara mekare-kare dan main ayunan ini diadakan, jatuh pada bulan Juni 2013. Khusus untuk upacara mekare-kare jatuh dilaksanakan tanggal 25 dan 26 Juni 2013.

Jumat, 22 Maret 2013

POLA ASUH ORANG TUA


Konsep Dasar Pola Asuh Orang Tua
1.      Pengertian
Pola asuh orang tua merupakan pola perilaku yang diterapkan pada anak bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dirasakan oleh anak, dari segi negatif maupun positif. Pola asuh yang ditanamkan tiap keluarga berbeda, hal ini tergantung pandangan dari tiap orang tua (Petranto, 2006).
2.      Macam-Macam Pola Asuh Orang Tua
Menurut Baumrind (dalam Syamsu Yusuf, 2005) terdapat empat macam pola asuh orang tua yaitu:
a.       Pola asuh demokratis
Adalah pola asuh yang memperioritaskan kepentingan anak akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua yang demokratis memandang sama kewajiban hak orang tua dan anak, bersikap rasional dan selalu mendasari tindakannya pada rasio pemikiran. Ciri-ciri orang tua demokratis yaitu:
1)      Orang tua bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak.
2)      Orang tua memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan.
3)      Bersikap responsif terhadap kemampuan anak.
4)      Mendorong anak untuk menyatakan pendapat atau pertanyaan.
5)      Memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan baik dan buruk.
6)      Menghargai setiap keberhasilan yang diperoleh anak.
b.      Pola asuh otoriter
Adalah pola asuh yang merupakan kebalikan dari pola asuh demokratis yaitu cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya disertai dengan ancaman-ancaman. Bentuk pola asuh ini menekan pada pengawasan orang tua atau kontrol yang ditunjukkan pada anak untuk mendapatkan kepatuhan dan ketaatan. Jadi orang tua yang otoriter sangat berkuasa terhadap anak, memegang kekuasaan tertinggi serta mengharuskan anak patuh pada perintah-perintahnya. Secara umum pola asuh otoriter mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1)      Orang tua suka menghukum secara fisik.
2)      Orang tua cenderung bersikap mengomando (mengharuskan atau memerintah anak untuk melakukan sesuatu tanpa kompromi).
3)      Bersikap kaku.
4)      Orang tua cenderung emosional dan bersikap menolak.
c.       Pola asuh permisif atau pemanja
Merupakan suatu bentuk pengasuhan dimana orang tua memberikan kebebasan sebanyak mungkin kepada anak untuk mengatur dirinya, anak tidak dituntut untuk bertanggung jawab dan tidak banyak kontrol oleh orang tua. Secara umum ciri-ciri pola asuh orang tua yang bersifat pemanja yaitu:
1)      Orang tua tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka.
2)      Orang tua memberikan kebebasan kepada anak untuk menyatakan dorongan atau keinginannya.
3)      Orang tua tidak pernah menegur atau tidak berani menegur perilaku anak, meskipun perilaku tersebut sudah keterlaluan atau diluar batas kewajaran.
d.      Pola asuh tipe penelantar
Pola asuh ini biasanya memiliki interaksi waktu yang sedikit dengan anak-anaknya. Secara umum ciri-ciri pola asuh penelantar yaitu:
1)      Orang tua lebih mementingkan kepentingan sendiri misalnya terlalu sibuk, tidak peduli bahkan tidak tahu anaknya dimana atau sedang dengan siapa, dan lain sebagainya.
2)      Anak-anak dibiarkan berkembang sendiri baik fisik maupun psikis.
Dari hasil penelitian di Firlandia, ternyata anak dengan pola asuh orang tua penelantar berperilaku lebih agresif, impulsif, pemurung dan kurang konsentrasi pada suatu kegiatan penyimpangan kepribadian dan perilaku anti sosial lebih tampak pada pola asuh ditelantarkan. Pengasuhan penelantaran merupakan pengasuhan yang beresiko paling tinggi (Prasetyo, 2003).
Gejala-gejala perilaku negatif tersebut semakin tampak pada anak usia 8-12 tahun. Bahkan pada anak dengan pola asuh penelantar kecenderungan perilaku negatif sering kali mengarah pada perilaku negatif orang dewasa seperti merokok, minum-minuman beralkohol, seks bebas atau melacur dan tidak jarang terlibat tindakan kriminal (Prasetyo, 2003).

3.      Karakteristik anak dalam kaitannya dengan pola asuh orang tua
Karakterisik anak sesuai dengan masing-masing pola asuh orang tua menurut Baumrind (dalam Petranto, 2006) adalah sebagai berikut:
a.       Pola asuh demokratis akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu menghadapi stres, mempunyai minat terhadap hal-hal baru dan kooperatif terhadap orang lain.
b.      Pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma, berkepribadian lemah, cemas dan menarik diri.
c.       Pola asuh permisif akan menghasilkan karakteristik anak-anak impulsif, agresif, tidak patuh, manja, kurang madiri, mau menang sendiri, kurang percaya diri dan kurang matang sosial.
d.      Pola asuh penelantar akan menghasilkan karakteristik anak moody, impulsif, agresif, kurang bertanggung jawab, tidak mau mengalah, harga diri rendah, sering bolos dan bermasalah dengan teman.

4.      Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peran Pengasuhan
Untuk dapat menjalankan peran pengasuhan anak dengan baik, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi yaitu:
a.       Usia orang tua
Tujuan Undang-Undang perkawinan salah satunya adalah memungkinkan pasangan untuk siap secara fisik maupun psikososial dalam membentuk rumah tangga dan menjadi orang tua. Walaupun demikian, rentang usia tertentu adalah baik untuk menjalankan peran pengasuhan. Apabila terlalu muda atau terlalu tua, maka tidak akan dapat menjalankan peran-peran tersebut secara optimal karena diperlukan kekuatan fisik dan psikososial.

b.      Keterlibatan orang tua
Pendekatan mutakhir yang digunakan dalam hubungan ayah dan bayi yang baru lahir, sama pentingnya dengan hubungan antara ibu dan bayi sehingga dalam proses persalinan, ibu dianjurkan ditemani suami dan begitu bayi lahir, suami diperbolehkan untuk menggendong langsung setelah ibunya mendekap dan menyusuinya. Dengan demikian, kedekatan hubungan antara ibu dan anaknya sama pentingnya dengan ayah dan anak walaupun secara kodrati akan ada perbedaan, tetapi tidak mengurangi makna penting hubungan tersebut. Pada beberapa ayah yang tidak dapat terlibat secara langsung pada saat bayi baru dilahirkan maka beberapa hari atau minggu kemudian dapat melibatkan dalam perawatan bayi seperti mengganti popok, bermain dan berinteraksi sebagai upaya untuk terlibat dalam perawatan anak.
c.       Pendidikan orang tua
Bagaimanapun pendidikan dan pengalaman orang tua dalam perawatan anak akan mempengaruhi kesiapan mereka menjalankan peran pengasuhan. Untuk menjadi lebih siap dalam menjalankan peran pengasuhan adalah dengan terlibat aktif dalam setiap upaya pendidikan anak, mengamati segala sesuatu dengan berorientasi pada masalah anak, menjaga kesehatan anak dengan secara regular memeriksakan dan mencari pelayanan imunisasi, memberikan nutrisi yang adekuat, memperhatikan keamanan dan melaksanakan praktek pencegahan kecelakaan, selalu berupaya menyediakan waktu untuk anak dan menilai perkembangan fungsi keluarga dalam perawatan anak.
d.      Pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak
Hasil riset menunjukkan bahwa oang tua yang telah mempunyai pengalaman sebelumnya dalam merawat anak akan lebih siap menjalankan peran pengasuhan dan lebih relaks. Selain itu, mereka akan lebih mampu mengamati tanda-tanda pertumbuhan dan perkembangan anak yang normal. 
e.       Stres orang tua
Stres yang dialami oleh ayah atau ibu atau keduanya akan mempengaruhi kemampuan orang tua dalam menjalankan peran pengasuhan, terutama dalam kaitannya dengan strategi koping yang dimiliki dalam menghadapi permasalahan anak. Walaupun demikian, kondisi anak juga dapat menyebabkan stres pada orang tua, misalnya anak dengan tempramen yang sulit atau anak dengan masalah keterbelakangan mental.
f.       Hubungan suami istri
Hubungan yang kurang harmonis antara suami dan istri akan berdampak pada kemampuan mereka dalam menjalankan perannya sebagai orang tua dan merawat serta mengasuh anak dengan penuh rasa bahagia karena satu sama lain dapat saling memberi dukungan dan menghadapi segala masalah dengan koping yang positif. 
Sumber
Azwar, S., 1998, Skala Pengukuran Psikologi, Jogjakarta: Pustaka Belajar
Clemes, Harris., 2001, Mengajarkan Disiplin Kepada Anak, Jakarta: Mitra Utama
Gunarsa, Singgih., 2002, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Jakarta: Gunung Mulia
Hall, S., 2003, Perkembangan Remaja, Jakarta: Erlangga
Hurlock, Elizabeth B., 1995, Psikologi Perkembangan Edisi Kelima, Jakarta: Erlangga
Soetjiningsih, dkk., 2002, Buku Ajar Tumbuh Kembang Anak dan Remaja, Jakarta: Sagung Seto

Senin, 18 Maret 2013


KAIN GRINGSING, ADAKAH HAK PATEN?



Berbicara mengenai warisan budaya dan tradisi dari leluhur, maka yang  kita ingat adalah sesuatu yang boleh dibilang tua, turun temurun, sudah menjadi kebiasaan dan memiliki nilai tersendiri. Indonesia tentu patut berbangga karena memiliki warisan budaya yang banyak variasi, sangat tinggi nilainya oleh karena Indonesia kaya akan suku bangsa, adat dan warisan leluhur. Sebut saja kain Batik yang sudah diakui di mata dunia dan secara resmi sudah memiliki hak paten.

Namun taukah anda bahwa Indonesia juga memiliki kain yang sangat berbeda dari biasanya? Jauh dari pewarna kimia, proses pembuatan yang tidak menggunakan mesin melainkan tangan-tangan terampil dan alat-alat sederhana namun dapat menghasilkan kain yang bernilai sangat tinggi?

Kain itu dinamakan kain GRINGSING. Kain tradisional yang berasal dari sebuah desa yang bernama desa Tenganan Pegringsingan, kecamatan Manggis kabupaten Karangasem Bali, merupakan desa BALI AGA (bali kuno). Kain ini dibuat secara turun temurun di desa setempat dan dinamai dengan nama yang mirip dengan desa tersebut.

Mari kita mulai dengan makna dari nama kain GRINGSING. Nama Gringsing sendiri merupakan bahasa bali yang terdiri dari GRING dan SING. Gring (gering) berarti sakit dan Sing artinya tidak. Jadi GRINGSING bisa diartikan merupakan kain yang tidak menyebabkan sakit atau bisa disebut sebagai jimat atau penolak bala. Kain ini merupakan kain yang sakral, digunakan sebagai pratima ataupun pakaian adat yang dipakai pada saat upacara-upacara adat berlangsung di desa Tenganan Pegringsingan. Awal mula kain ini berasal dari kapas, masyarakan di desa ini sangat telaten dapat menyulap kapas yang disebut kapas bali menjadi seuntai benang, dari benang dikumpulkan maka mulai dibentuk motif. Motif-motif pada kain gringsing bervariasi, dan tidak diragukan lagi bahwa masing-masing motif memiliki makna tertentu, seperti motif Lubeng yaitu motif berbentuk binatang kalajengking, dimana motif ini digunakan sebagai lambang dari desa Tenganan Pegringsingan ini sendiri. Ada juga motif cempaka yaitu menggambarkan keindahan bunga cempaka, motif wayang yang sangat rumit baik proses pembuatan motif, pewarnaan, maupun dalam menenun.

  

Kain ini tidak menggunakan pewarna kimia, murni dari warna alami. Perbedaannya dengan kain tekstil lainnya yaitu kain ini unik dalam hal motif, diproses dengan menenun, warna dan terkesan lebih kasar jika dibandingkan dengan kain sutra atau pasmina. Namun percayalah bahwa kain ini semakin lama akan semakin bagus dari segi warna dan kelembutan kain.
Bicara mengenai warna kain ini, ada dua jenis pewarnaan. Yang pertama ada gringsing yang warnanya terdiri dari warna putih dan biru yang sering disebut indigo. Sedangkan warna kedua terdiri dari warna hitam, merah dan putih. Warna putih ini karena terkena minyak pewarna makan warnanya akan lebih condong ke kuning, sehingga orang yang tidak mengetahui makna dari warna ini sering menyebutkan bahwa gringsing terdiri dari warna hitam, merah dan kuning. Ketiga warna ini terkait dengan konsep Tridatu, menggambarkan pencipta, pemelihara dan pelebur seperti konsep Tri Murti yang ada di ajaran Agama Hindu.
Terlepas dari semua keindahan dan makna dari kain GRINGSING yang bernilai tinggi ini, kita patut bangga dengan hal tersebut. Namun sayangnya pemerintah belum melirik tentang hak paten dari kain gringsing ini. Pada kenyataannya kain ini dibuat langsung di desa Tenganan Pegringsingan yang merupakan warisan leluhur yang dibuat secara turum temurun, namun sangat mengecewakan ada oknum yang mengakui bahwa kain ini dibuat di desanya (bukan desa Tenganan Pegringsingan). Dengan menjelaskan kepada semua wisatawan asing maupun domestik, mereka mengakui bahwa kain ini adalah buatan mereka. Tidakkah Pemerintah khawatir dengan hal ini? Warisan leluhur, yang merupakan kekayaan negara yang patut dijaga bahkan dipatenkan. Jangan sampai semua terlambat dan menyebabkan desa lain, daerah lain atau bahkan Negara lain mengaku bahwa “dia” produsen gringsing?

  

Saya berharap Pemerintah bisa tergugah untuk sedikit saja melirik pentingnya kain gringsing ini untuk dipatenkan sebelum semuanya terlambat.
Demikian penjelasandari kain gringsing ini, saya tidak dapat menjelaskan pembuatan gringsing secara terperinci karena ini bersifat tertutup bagi orang luar. Untuk kritik ataupun saran sangat saya harapkan.
Saya akan terus menulis tentang hal-hal yang menyangkut Desa Tenganan Pegringsingan, karena hal ini saya lakukan agar tidak ada lagi kekeliruan informasi mengenai desa Bali Aga (Bali Kuno) yang asli.
Jika ada pertanyaan seputar Gringsing ataupun menyangkut desa Tenganan Pegringsingan, jangan segan untuk mengirimkan email ke desysuar@gmail.com

Terima kasih
th3y_6

Minggu, 17 Maret 2013


PERAWAT juga manusia, hanya memiliki dua tangan, dua kaki, perlu istirahat, perlu makan, toileting, terkadang juga sakit karena kondisi unwell dan sebagainya sama dengan kalian. kami memang tidak sempurna tapi berusaha untuk melakukan yang TERBAIK. jika ada hal yang kurang berkenan karena kami sakit atau tidak dapat memenuhi permintaan sesuai harapan kalian, maaf kami hanya manusia biasa yang memiliki batas kemampuan, kami bukan makhluk sempurna.
Hanya bisa berharap bahwa kalian bisa mengerti posisi kami. Terima Kasih. 
Take care for you all. 
Regards

Ayunan dan Mekare-kare di desa Tenganan Pegringsingan


Om Swastiastu,


Ayunan dan Mekare-kare, warisan leluhur di Desa Tenganan Pegringsingan
Tradisi main ayunan di Desa Tenganan Pegringsingan yang dinaiki oleh para Daha (gadis) dan diputar secara manual oleh para Truna (laki-Laki). Ayunan ini hanya ada pada bulan kelima yang disebut Sasih Sambah selama satu bulan. Sasih Sambah ini merupakan salah satu bulan dimana berlangsungnya upacara-upacara adat terbesar yang diadakan di desa Tenganan Pegringsingan tersebut. Desa Tenganan Pegringsingan merupakan Desa Bali Aga (Bali Kuno) yang sudah ada sejak dahulu. itu sebabnya tradisi dan upacara adat di desa ini sangat berbeda dengan tradisi di Bali pada umumnya.
Selain ayunan, ada lagi upacara adat yang tidak kalah menarik untuk ditonton yaitu upacara Perang Pandan atau sering disebut dengan Mekare-kare. Perang pandan ini dilaksanakan oleh para truna dengan senjata seikat daun pandan berduri dengan tamyang yang digunakan sebagai alat pelindung diri terbuat dari anyanan ata (sejenis rotan). Upacara Mekare-kare ini diiringi dengan music khas Tenganan Pegringsingan yaitu Selonding.
Upacara main ayunan dan Mekare-kare ini diselenggarakan hanya satu tahun sekali yaitu pada bulan Kelima (menurut penanggalan di Desa Tenganan Pegringsingan), biasanya jatuh sekitar bulan Juni-Juli.


Om Santih, Santih, Santih Om